Selasa, 10 Januari 2012
Kemampuan Berpikir Kritis Untuk Generasi Muda
Kemampuan berpikir kritis sudah saatnya ditanamkan kepada generasi muda Indonesia.
Lepas dari fakta bahwa di negara asalnya, Amerika Serikat, pemikiran ini sudah dan
sedang gencar-gencarnya digenjot di bangku sekolah dan kuliah, ketrampilan berpikir
kritis memang salah satu bekal dalam menghadapi dunia yang makin komplek dimana
banjir informasi melanda penghuninya lewat berbagai jejaring sosial di dunia maya.
Tanpa kemampuan bernalar kritis, generasi muda Indonesia akan cenderung menelan
informasi dari segenap penjuru jagad secara bulat-bulat tanpa olah pikir yang secara
cermat dan bijak akan menyeleksi informasi yang benar dan terpercaya.
Bukan hanya itu, namun ketika mengenyam pendidikan pun, kemampuan berpikir
kritis sangat mereka perlukan untuk memantapkan tujuan, menentukan berbagai
cara mencapai tujuan tersebut, mempertimbangkan segala konsekuensi yang mungkin
timbul akibat cara tersebut, menguji sekian banyak asumsi, menarik kesimpulan,
sampai pada mengevaluasi hasil yang dicapai. Tak jarang pada proses ini terjadi revisi asumsi dan modifikasi penarikan kesimpulan. Tak jarang pula pada tahap tertentu mereka harus bersikap rendah hati secara intelektual, mau dengan terbuka menerima kesalahan pola pikirnya dan menerima kebenaran cara pikir orang lain. Karena sifatnya yang mendasari cara pikir ini, kemampuan berpikir kritis bukan hanya diperlukan kerika mempelajari materi kuliah dan menyelesaikan tugas, namun juga ketika seorang akademikus melakukan penelitian, mengkaji masalah sosial dan melakukan pengabdian masyarakat, sampai pada memimpin organisasi.
Konsep berpikir kritis sendiri didefinisikan oleh Ennis (1987) sebagai cara pikir yang bermula dari penentuan masalah atau pertanyaan secara jelas, yang disusul oleh pencarian informasi dan bukti yang terpercaya dengan mempertimbangkan semua situasi yang ada, kemudian menentukan solusi yang paling tepat, plus dengan kesadaran penuh akan segala konsekuensinya. Semua itu masih harus diimbangi dengan kesediaan berpikiran terbuka, mempertimbangkan beberapa alternatif, dan menarik kesimpulan (inferring) dari semua implikasi alternatif tersebut. Ini akan menjadi sempurna jika dibarengi dengan sikap rendah hati, peka terhadap perasaan dan pengetahuan pihak lain. Bukankah sikap-sikap seperti ini yang patut ditanamkan dan dikuatkan dalam diri generasi muda terdidik di jaman informasi ini?
Pada tataran praktis pembelajaran di kelas, berpikir kritis bisa diwujudkan melalui serangkaian pertanyaan seperti ini: apa masalahnya? Apa tujuan yang mau dicapai? Sumber daya dan kemampuan awal apa yang dimiliki? Asumsi apa yang dipakai? Jika sudah ada bukti, seberapa kredibel bukti tersebut? Apa konsekuensi dari cara-cara yang mau diambil untuk mencapai tujuan? Pada akhirnya, apakah solusi yang diambil sudah efektif, dengan dampak merugikan ditekan seminim mungkin?
Sebagian kalangan mungkin menganggap bahwa uraian di atas memang sudah cara pikir sewajarnya dan bukan sesuatu yang baru. Namun, di tengah budaya pembelajaran yang relatif masih terpusat pada guru dan jawaban tunggal tanpa ruang untuk mengkritisi dan mencari alternatif, ketrampilan berpikir kritis menjadi salah satu agenda pendidikan yang patut dipertimbangkan dalam upaya membentuk generasi muda yang mampu berpikir, bukan sekedar menggunakan otaknya untuk menghafal dan mereproduksi ujaran guru dan uraian buku teks.
Langganan:
Postingan (Atom)